Saya Hampir Resign di Bulan Pertama, Pengakuan Jujur tentang Mental yang Belum Siap Kerja

Tidak banyak yang membicarakan fase ini secara jujur di LinkedIn atau media sosial profesional. Yang sering terlihat justru foto seragam baru, nametag berkilau, dan caption penuh optimisme: “Ready for the new journey!”

Namun, realita di balik layar sering kali jauh dari kilauan itu.

Saya masih ingat jelas bulan pertama saya bekerja. Seragam terasa kaku di badan. Nama saya masih sering salah disebut oleh senior. Senyum kepada tamu masih terasa canggung dan dipaksakan.

Dan di balik semua itu, ada satu pertanyaan yang diam-diam muncul hampir setiap malam dalam perjalanan pulang:

“Apakah saya salah masuk dunia kerja?”

Saya hampir resign di bulan pertama.

Bukan karena pekerjaannya terlalu sulit secara teknis.
Bukan karena lingkungannya buruk atau tidak sehat.
Melainkan karena satu hal yang sulit saya akui saat itu:

mental saya belum siap bekerja.

Transisi yang Tidak Pernah Diajarkan: Dari Dilatih ke Dituntut

Di bangku pendidikan, kita dilatih untuk tampil benar. Kita dibimbing, diarahkan, dan diberi ruang untuk belajar dari kesalahan. Lingkungan ini membentuk rasa aman.

Namun dunia kerja terutama industri hospitality beroperasi dengan prinsip yang berbeda.

Di sini, Anda tidak dinilai dari niat baik, melainkan dari kehadiran emosional dan konsistensi profesional.
Tidak ada waktu menunggu Anda siap.
Tidak ada ruang aman untuk ego yang masih rapuh.

Inilah transisi mental yang jarang dibahas:
perpindahan dari learning mindset ke responsibility mindset.

Dan tanpa kesiapan Emotional Intelligence, transisi ini terasa seperti benturan keras.

Mental Kerupuk dan Rendahnya Self-Regulation

Saya menyebut kondisi saya saat itu sebagai mental kerupuk.
Dari luar terlihat utuh, tetapi mudah retak saat tekanan pertama datang.

Sedikit ditegur, langsung defensif.
Sedikit dikritik, merasa tidak dihargai.
Sedikit dibandingkan, langsung meragukan nilai diri.

Dalam perspektif Emotional Intelligence, ini bukan soal lemah mental.
Ini soal belum terbentuknya self-regulation kemampuan mengelola emosi ketika ekspektasi tidak terpenuhi.

Di industri hospitality, tekanan bukan anomali. Ia adalah rutinitas.
Tanpa kemampuan mengatur respons emosional, tekanan harian terasa personal dan menyakitkan.

Di titik inilah saya memahami satu prinsip yang tidak nyaman, tetapi jujur:

“The hotel doesn’t block your growth your fear does.”

Ekspektasi yang Keliru: Akar Kerapuhan Emosional

Kesalahan terbesar saya di bulan pertama bukan pada kinerja, melainkan pada ekspektasi.

Saya berharap dimengerti karena masih baru.
Saya berharap diberi waktu panjang untuk beradaptasi.
Saya berharap kesalahan diperlakukan sebagai proses belajar, bukan tanggung jawab.

Padahal dunia kerja berjalan dengan logika yang lebih dewasa:

Tanggung jawab datang lebih dulu. Penyesuaian menyusul sambil jalan.

Di sinilah banyak profesional muda goyah.
Bukan karena mereka tidak mampu, tetapi karena mental mereka masih menunggu dunia bersikap lembut.

Dan hospitality tidak pernah lembut.

Titik Balik: Self-Awareness yang Tidak Nyaman

Yang membuat saya tidak jadi meletakkan surat pengunduran diri bukan motivasi atau nasihat klise.

Yang menyelamatkan saya justru satu kesadaran pahit:

“Mungkin masalahnya bukan tempat ini. Mungkin saya yang belum siap.”

Kesadaran ini adalah inti Emotional Intelligence: self-awareness.

Saat saya berhenti menyalahkan keadaan dan mulai mengamati diri sendiri, pola mulai berubah.

Saya berhenti menunggu dipahami, dan mulai belajar membaca dinamika tim.
Saya berhenti memaknai teguran sebagai serangan personal, dan mulai melihatnya sebagai data perbaikan.
Saya berhenti bereaksi, dan mulai hadir dengan ketenangan.

Di situlah mental saya mulai terbentuk.

Ketangguhan Emosional adalah Fondasi Kepemimpinan

Di industri hospitality, mereka yang bertahan hingga level kepemimpinan bukanlah yang paling pintar secara teknis.

Mereka adalah yang paling stabil secara emosional.

Pemimpin tidak mencari staf yang selalu benar.
Mereka mencari orang yang:

  • bisa ditegur tanpa runtuh,
  • bisa salah tanpa menyalahkan,
  • dan bisa lelah tanpa drama berlebihan.

Itulah Emotional Intelligence dalam bentuk paling nyata.

Saya tidak bangga pernah hampir resign di bulan pertama.
Namun saya bersyukur tidak melakukannya.

Karena ketidaknyamanan di fase paling rapuh itulah yang membentuk ketangguhan saya hari ini.

Jika Anda sedang berada di fase ini baru bekerja, ingin menyerah, merasa salah tempat berhentilah sejenak dan tanyakan dengan jujur:

Apakah saya benar-benar tidak cocok, atau mental saya sedang belajar dewasa?

Sering kali, mereka yang bertahan melewati fase paling rapuh adalah mereka yang akhirnya paling siap memimpin.

Related Jobs