3 Gaya Leadership Supervisor Hotel, Kapan Harus Tegas, Kapan Harus Mengajar
Brutal Truth:
Jika Anda memimpin tim Anda dengan cara yang sama setiap hari, Anda malas. [X = Menggunakan satu gaya untuk semua situasi]. [Y = Tim Anda akan mengalami burnout atau kehilangan rasa hormat pada Anda]. [Z = Anda harus menjadi chameleonic leader yang beradaptasi dengan tekanan operasional].
Jika Anda berpikir Leadership adalah tentang memiliki jabatan dan memberi perintah, Anda salah besar. Itu bukan kepemimpinan, melainkan sekadar administrasi ego.
Di dunia High-End Hospitality, situasi berubah dalam hitungan detik. Pagi hari Anda bisa saja menghadapi komplain tamu VIP yang berteriak di Front Desk, siang hari melatih karyawan baru yang gemetar, dan malam harinya harus memastikan Gala Dinner berjalan tanpa cela. Supervisor amatir merespons semua ini dengan satu nada yaitu panik atau marah. Supervisor kelas dunia merespons dengan Adaptabilitas Strategis.
Berdasarkan kurikulum Hospitality Leadership tingkat lanjut, ada tiga mode kepemimpinan yang harus Anda kuasai. Tanpa ketiganya, karier Anda akan stagnan di level supervisor selamanya.
1. The Commander (Gaya Direktif)
Gaya ini mutlak digunakan saat krisis, standar keselamatan, dan zona tanpa toleransi kesalahan. Banyak buku manajemen modern menyarankan untuk tidak memerintah, namun nasihat itu berbahaya di operasional hotel saat terjadi krisis. Ada momen di mana diskusi tidak diperlukan dan Sense of Urgency serta kepatuhan total terhadap protokol adalah satu-satunya cara menyelamatkan reputasi hotel atau nyawa tamu. Gaya ini bukan tentang menjadi kasar, melainkan tentang kejelasan absolut.
Konsep The Commander adalah memberikan instruksi spesifik mengenai siapa, apa, kapan, dan bagaimana tanpa ruang untuk debat. Anda mengambil kendali penuh. Gunakan gaya ini saat menangani isu Safety & Security, terjadi Service Breakdown masif yang butuh pemulihan instan, atau saat menegakkan Brand Standards yang tidak bisa ditawar seperti kebersihan kamar.
Luxury Case Study: The St. Regis Beijing Bayangkan situasi di The St. Regis Beijing saat high-profile dinner sedang berlangsung. Wang Huafeng, seorang teknisi engineering, mencium bau gas samar dari dapur banquet saat ratusan tamu VIP sudah duduk. Ini bukan waktunya untuk coaching atau diskusi. Ini situasi hidup dan mati. Wang segera mengambil alih komando dengan mengeksekusi protokol darurat, menghubungi perusahaan gas, dan melakukan perbaikan sementara secara presisi untuk mencegah bencana sebelum tim ahli tiba. Jika Wang ragu atau mencoba bersikap demokratis saat itu, makan malam tersebut bisa berakhir menjadi tragedi. Dalam krisis, tim Anda tidak butuh teman, mereka butuh komandan.
2. The Coach (Gaya Suportif)
Jika Anda terus-menerus menggunakan gaya komandan, tim Anda akan menjadi robot yang takut membuat keputusan sendiri. Di sinilah gaya The Coach masuk, gaya yang paling sering diabaikan oleh supervisor yang tidak sabaran. Gaya ini fokus pada Emotional Intelligence dengan tujuan membuat anggota tim lebih pintar untuk tugas berikutnya, bukan sekadar menyelesaikan tugas saat itu.
Konsep The Coach adalah tidak memberikan jawaban, melainkan mengajukan pertanyaan. Anda membimbing mereka menemukan solusi menggunakan kerangka kerja seperti L.E.A.R.N (Listen, Empathize, Apologize, Resolve, Notify). Gunakan gaya ini saat anggota tim melakukan kesalahan namun berniat baik, karyawan menghadapi tamu sulit dan kehilangan kepercayaan diri, atau saat Anda ingin mendorong Anticipatory Service.
Luxury Case Study: The St. Regis Cairo Perhatikan kasus di The St. Regis Cairo ketika seorang tamu wanita stres karena tumit sepatunya patah tepat sebelum wawancara kerja penting. Seorang Butler amatir mungkin hanya akan menawarkan taksi. Namun Moustafa, sang Butler, mengambil inisiatif lebih dengan berkoordinasi bersama tim Engineering untuk memperbaiki sepatu dalam 45 menit, mengatur transportasi, dan menyiapkan bubble bath untuk kepulangan tamu tersebut. Di balik layar, ini adalah hasil coaching efektif dari supervisornya. Supervisor yang baik melatih Moustafa untuk memiliki Empowerment dan keberanian mengambil keputusan. Jika supervisornya selalu menggunakan gaya komandan, Moustafa tidak akan pernah berani berimprovisasi seindah itu.
3. The Strategist (Gaya Delegasi)
Ini adalah level tertinggi kepemimpinan. Tujuan Anda adalah menjadi tidak dibutuhkan untuk operasional harian. Delegasi berarti memberikan otonomi kepada High Performers untuk bersinar, bukan membuang pekerjaan yang tidak Anda sukai. Banyak supervisor takut melakukan ini karena sindrom ego yang merasa tidak ada yang bisa bekerja sebaik dirinya.
Konsep The Strategist adalah menetapkan hasil akhir atau goal, tetapi membiarkan tim menentukan cara atau prosesnya. Anda memberikan sumber daya lalu menyingkir dari jalan mereka. Gunakan gaya ini untuk merancang Guest Experience unik, mengelola kedatangan VIP dengan tim senior, atau menangani proyek kreatif.
Luxury Case Study: The St. Regis Goa Resort Lihat bagaimana tim di The St. Regis Goa Resort menangani kedatangan keluarga besar dari Delhi yang ingin merayakan festival Holi pertama mereka di luar rumah. Chandni dari tim F&B Sales dan manajer restoran tidak menunggu instruksi mikro. Mereka diberi kebebasan untuk merancang pengalaman tersebut dan mengubah area pantai menjadi festival Holi privat spektakuler. Pemimpin mereka bertindak sebagai Strategist yang menyetujui visi dan membiarkan tim mengeksekusinya. Hasilnya adalah loyalitas tamu absolut karena sentuhan personal yang tidak mungkin terjadi jika pemimpin melakukan micromanagement.
Kesalahan Fatal Supervisor Pemula
The Micromanager Trap Anda menggunakan gaya Komandan untuk segalanya, mengatur hal sepele seperti cara melipat napkin hingga cara menulis email. Dampaknya adalah tim Anda berhenti berpikir dan akan menunggu instruksi Anda bahkan untuk hal kecil seperti memungut sampah. Anda akan kelelahan dan Guest Experience akan melambat secara drastis.
The Best Friend Syndrome Anda terlalu sering menggunakan gaya Coach atau Delegasi pada staf baru atau saat krisis karena takut tidak disukai. Dampaknya adalah standar hancur karena karyawan melanggar aturan tanpa konsekuensi tegas, yang berujung pada komplain tamu akibat inkonsistensi layanan.
FAQ: Pertanyaan Umum Leadership Style
Bagaimana jika saya mencoba gaya Coaching tapi staf saya tetap tidak paham? Berhenti melakukan coaching dan kembali ke gaya Directing atau Komandan. Coaching hanya bekerja jika staf memiliki kompetensi dasar. Jika mereka belum paham dasar operasional, mereka butuh instruksi jelas, bukan pertanyaan filosofis.
Apakah boleh berganti gaya pada orang yang sama? Mutlak harus. Seorang karyawan senior yang biasanya butuh Delegasi bisa tiba-tiba melakukan kesalahan fatal yang membutuhkan Directing atau menghadapi masalah pribadi yang membutuhkan Coaching. Pemimpin elit menyesuaikan gaya dengan situasi, bukan hanya orangnya.
Mana gaya terbaik untuk Service Recovery? Kombinasi adalah kuncinya. Gunakan Directing untuk menyelesaikan masalah teknis tamu dengan cepat demi Sense of Urgency, lalu gunakan Coaching kepada tim setelahnya untuk mencegah masalah terulang kembali.
Jika Anda hanya memiliki palu, semua masalah terlihat seperti paku. Jika Anda hanya bisa memerintah, Anda bukan pemimpin melainkan mandor. Jika Anda hanya bisa memotivasi tanpa ketegasan, Anda bukan pemimpin melainkan pemandu sorak.
Mulai besok, audit interaksi Anda. Apakah Anda memarahi seseorang yang seharusnya Anda latih? Apakah Anda membiarkan seseorang yang seharusnya Anda beri instruksi tegas? Jadilah adaptif. Jadilah elit.


