Quiet Quitting di Dunia Perhotelan dan Ilusi Loyalitas Lama

Di banyak hotel, istilah quiet quitting terdengar seperti ancaman. Ia sering dibicarakan dengan nada khawatir di ruang meeting manajemen, dibahas di grup HR, dan menjadi topik panas di morning briefing level atas. Narasi yang muncul hampir selalu sama: “Staf sekarang tidak se-loyal dulu,” “Etos kerja menurun,” “Generasi baru terlalu hitung-hitungan.”

Namun, di balik kekhawatiran itu, ada satu pertanyaan mendasar yang jarang benar-benar dijawab dengan jujur: apakah masalahnya ada pada karyawan, atau pada ilusi loyalitas lama yang masih dipaksakan hidup di sistem kerja hotel modern?

Quiet quitting di dunia perhotelan bukan fenomena tiba-tiba. Ia bukan tren malas yang muncul dari generasi tertentu. Ia adalah respons logis terhadap sistem yang masih mengandalkan pengorbanan emosional tanpa perlindungan, tanpa kejelasan, dan tanpa timbal balik yang sepadan.

Memahami Quiet Quitting Secara Jujur

Secara definisi, quiet quitting bukan berarti berhenti bekerja. Ia berarti bekerja sesuai kontrak, sesuai job description, dan sesuai jam kerja. Tidak lebih, tidak kurang. Datang tepat waktu. Pulang tepat waktu. Menyelesaikan tugas yang memang dibayar.

Di industri lain, perilaku ini dianggap normal. Namun di dunia perhotelan, perilaku yang sama justru dipandang sebagai ancaman. Mengapa? Karena selama puluhan tahun, industri ini hidup dari satu asumsi tidak tertulis: loyalitas berarti memberi lebih tanpa bertanya balik.

Ketika staf mulai menarik garis batas profesional, sistem yang terbiasa menerima extra mile gratis langsung goyah.

Ilusi Loyalitas Lama dalam Industri Hotel

Banyak hotel masih memegang narasi lama tentang loyalitas. Loyal berarti siap lembur kapan saja. Loyal berarti selalu bisa dihubungi. Loyal berarti tidak banyak bertanya soal kompensasi. Loyal berarti “demi nama hotel”.

Masalahnya, loyalitas versi lama ini tidak pernah benar-benar dibangun di atas kontrak yang adil. Ia dibangun di atas budaya sungkan, hierarki, dan rasa takut dianggap tidak berdedikasi. Selama bertahun-tahun, sistem ini berjalan karena generasi sebelumnya tidak memiliki banyak pilihan, informasi, atau keberanian untuk menarik batas.

Hari ini, situasinya berubah. Profesional hospitality terutama generasi muda lebih sadar akan nilai waktu, kesehatan mental, dan keadilan kerja. Mereka tidak menolak bekerja keras. Mereka menolak bekerja tanpa kejelasan dan tanpa penghargaan yang proporsional.

Quiet quitting adalah bentuk koreksi terhadap ilusi loyalitas lama yang sudah tidak relevan.

Mengapa Quiet Quitting Terasa “Mengganggu” di Hotel

Di banyak properti, quiet quitting terasa seperti ancaman besar bukan karena operasional berhenti, tetapi karena satu hal yang sangat krusial menghilang: discretionary effort.

Service excellence tidak pernah lahir dari SOP semata. Ia lahir dari niat ekstra. Dari staf yang mau mengingat nama tamu. Dari inisiatif kecil yang tidak tertulis di checklist. Dari energi emosional yang diberikan secara sukarela.

Ketika staf berhenti overdeliver, hotel masih bisa berjalan. Check-in tetap terjadi. Kamar tetap bersih. Laporan tetap hijau. Namun pengalaman tamu menjadi datar. Tidak buruk, tapi tidak berkesan. Dan di industri hospitality, tidak berkesan adalah awal dari kehilangan loyalitas tamu.

Masalahnya bukan pada staf yang “berhenti peduli”. Masalahnya adalah sistem yang tidak lagi mampu memancing kepedulian.

Quiet Quitting sebagai Cermin Kegagalan Sistem Manajemen

Jika quiet quitting muncul secara masif di sebuah hotel, itu bukan masalah individu. Itu sinyal sistemik. Beberapa tanda kegagalan manajemen yang sering menyertainya antara lain:

Job description yang tidak realistis.
Jika pekerjaan harian tidak mungkin selesai dalam jam kerja normal, berarti masalahnya ada pada desain kerja, bukan etos staf.

Penghargaan yang tidak konsisten.
Usaha ekstra dianggap kewajiban, bukan nilai tambah. Mereka yang rajin justru diberi beban tambahan, bukan pengakuan.

Jalur karier yang kabur.
Staf diminta loyal, tetapi tidak diberi gambaran jelas tentang masa depan mereka di organisasi.

Budaya takut, bukan kepercayaan.
Orang bekerja agar tidak disalahkan, bukan karena ingin berkontribusi.

Dalam kondisi seperti ini, quiet quitting adalah bentuk rasionalisasi. Staf berhenti memberi lebih bukan karena tidak mampu, tetapi karena mereka belajar bahwa memberi lebih tidak lagi aman secara emosional.

Dampak Jangka Panjang terhadap Industri Perhotelan

Hotel dengan tingkat quiet quitting tinggi sering terlihat stabil di permukaan, tetapi rapuh di dalam. Dampaknya tidak langsung meledak, melainkan merembes perlahan:

Pelayanan menjadi mekanis dan kehilangan sentuhan manusia.
Upselling menurun karena tidak ada energi emosional untuk meyakinkan tamu.
Inovasi berhenti karena ide tidak lagi dihargai.
Talenta terbaik bertahan secara fisik, tetapi mencari peluang keluar secara mental.

Ini adalah kebocoran tak terlihat yang mahal. Bukan hanya soal kualitas layanan, tetapi soal keberlanjutan budaya kerja.

Membangun Loyalitas Versi Baru

Solusi quiet quitting bukan memaksa staf kembali “berkorban”. Loyalitas tidak bisa dipaksa. Ia harus dibangun ulang dengan definisi baru.

Loyalitas hari ini bukan tentang jam kerja panjang, tetapi tentang kepercayaan dan keadilan.
Bukan tentang selalu berkata “ya”, tetapi tentang rasa aman untuk bersikap profesional.
Bukan tentang pengorbanan sepihak, tetapi tentang hubungan kerja yang seimbang.

Hotel yang ingin mengatasi quiet quitting harus berani mengevaluasi sistemnya sendiri: beban kerja, struktur kompensasi, cara memberi penghargaan, dan kualitas kepemimpinan di level paling dekat dengan staf.

Quiet quitting di dunia perhotelan bukan tanda runtuhnya etos kerja. Ia adalah tanda bahwa ilusi loyalitas lama sudah tidak lagi bekerja. Industri ini tidak kekurangan orang yang mau bekerja keras. Ia kekurangan sistem yang mampu menjaga energi manusia tetap hidup dalam jangka panjang.

Pertanyaannya bukan lagi “kenapa staf sekarang tidak mau memberi lebih?”
Pertanyaannya adalah “apa yang salah dalam sistem kita hingga orang-orang baik memilih berhenti peduli?”

Hotel yang mampu menjawab pertanyaan kedua dengan jujur akan menemukan satu hal penting: ketika sistemnya adil, jelas, dan manusiawi, loyalitas tidak perlu diminta ia akan muncul dengan sendirinya.

Related Jobs